Rabu, 27 Juli 2011

part 2

Huh. Seperti biasa. Kalian ke mana sih? Gerutuku dalam hati.
Aku baru saja tiba di ruangan kelasku di tempat bimbel dan mendapati ruangan itu sepi, walaupun tidak kosong karena di dalam ada Yardan, teman sekelasku di bimbingan belajar ini.
Sekalipun ada Yardan, tetap saja aku merasa sepi. Secara aku dan Yardan tidak begitu akrab. Hanya saling mengenal saja.
“hai, diz. Teman-temanmu mana?” kata Yardan membuka pembicaraan.
Aku yang masih melamun agak sedikit terkejut mendengar perkataan Yardan, namun aku berusaha terlihat tenang.
“hai juga, dan. Hmm, nggak tahu tuh. Kayaknya bakalan telat lagi deh mereka.”
“tumben kamu nggak bareng  dengan mereka. Biasanya kan kalian selalu barengan.”
“hehe. Iya, aku tadi nggak masuk sekolah.”
“loh? Kok nggak masuk sekolah, diz?”
“masih sakit. Tapi sekarang udah agak baikan, makanya aku datang bimbel, hehe.” Kata-kataku tak bisa kuhentikan.
“oo gitu.”
“iya, gitu.”
Percakapan pun terhenti dan ruangan kelas kembali sepi.
“eh, dan. Boleh bagi nomor handphone kamu nggak?”
Aduh, kok aku nggak bisa ngontrol kata-kataku sih. Icha bego.
“bolehlah, diz. Nih, 085356008569.”
“oke. Aku misscall yaa. Nomorku akhirnya 191313. Save yaa.” Udahlah, udah kelanjur basah. Sekalian aja mandi.
“oke deh, diz.”
Percakapan kami terhenti dengan kehadiran Ai,  Thamy, Dira, dan Ela.
“hai,hai. Lagi cerita apaan nih?” kata Dira.
“nggak cerita apa-apa.” Jawabku dan Yardan berbarengan.
“cie, kompak bener.” Kata Thamy dan Ela kompakan.
“biasa aja kali.” Kataku sedikit ketus.
“kok ketus sih, diz? Kita kan Cuma bercanda. Yardan aja nggak marah. Ya kan, yardan?” kata Dira memojokkanku dan minta persetujuan dari Yardan.
“iya, diz. Kok ketus sih. Nggak suka yah digosipin sama aku?” kata Yardan tambah memojokkanku.
“bukan begitu. Cuma aku lagi nggak mood. Maaf yaa.” Kataku memelas.
Iya juga yah. Kok aku ketus banget. Ini pasti karena masih terpengaruh masalah waktu itu  bareng kak Ega.
“tumben nggak mood. Kamu lagi berantem ama....” kata-kata Ela langsung kupotong seenak jidatku.
“nggak.. mungkin karena aku masih agak sakit aja. Aku kan masih belum sembuh total.” Jawabku ngeles.
“oo, kirain.” Kata Ela singkat.
“hehe.” Aku kehabisan kata-kata.
Dan pada saat aku nggak tahu harus ngomong apa, bel di tempat bimbel kami berbunyi.
Huuh. Syukurlah. Thanks God.

***

“diz, pulang bareng siapa?” tanya Ai setelah pelajaran usai.
“pulang sendiri, ai. Kenapa?”
“nggak dijemput ama kak Ega?”
“nggak.”
“tumbennya.” Kata Thamy nimbrung.
“lagi pingin pulang sendiri aja. Hehe.” Kataku beralasan.
“nggak bawa mobil, diz?” tanya Ela.
“nggak, La. Lagi males. Lagian aku takut nggak konsentrasi bawa mobilnya. Aku masih agak pusing nih.”
Aduh. Kepalaku kok tiba-tiba sakit lagi yaah? Gawat nih.
“diz? Kamu nggak papa ? yakin mau balik sendirian?” tanya Ai khawatir.
“hmm. Kayaknya aku duduk dulu sebentaran. Kalian pulang aja duluan.”
“kenapa nggak minta kak Ega jemput sih?” kata Dira gemes.
“nggak ah, Dir. Kasihan kak Ega. Lagi sibuk.” Kataku singkat.
“yaelah, Diza. Kamu kan ceweknya. Kenapa sih kalian ini? Lagi ada masalah yaa?”
“nggak ada apa-apa kok, Dir. Aku cuma nggak mau nyusahin kak Ega.”
“aneh. Wajar dong kalau kamu nyusahin kak Ega. Dia kan pacar kamu.” Kata-kata Thamy bikin aku tambah pusing.
“udahlah. Kalau Diza nggak mau dijemput kak Ega, ya udah gitu aja. Kalian kok repot sih?” kata Ela menengahi.
Ya ampun, Ela. Makasih banget yaah. Di saat kayak gini nih, kecuekan kamu aku butuhin. Makasih yaa.
“ya udah, kalian pulang aja duluan. Udah malam loh. Ntar nggak dapat angkot.” Usirku secara halus.
“yakin, Diz, nggak mau ditemenin?” tanya Ai.
“iya, Ai. Nggak papa kok.” Kataku sembari memasang senyum manis yang semoga saja bisa meyakinkan mereka kalau aku bakalan baik-baik aja.
“oke deh kalau gitu. Kita duluan yahh, sayang.” Kata Dira berpamitan.
“dagdag Diza. Hati-hati yaah.” Kata Ai sambil tersenyum.
“iyaa, sayang. Kalian take care yaa. God bless you.” Kataku.
“you too, sayang.” Kata mereka kompakan.
Ai, Thamy, Dira dan Ela pun berlalu dari hadapanku.
“loh, Diz. Kok belum pulang?” seseorang menyapaku.
“hah? Eh, kamu yardan. Kirain siapa. Ngagetin aja. Hehe.” Kataku terkejut.
“kok belum balik, Diz?” Yardan mengulang pertanyaannya.
“hmm. Belum mau balik aja. Tapi sekarang udah mau balik kok.” Kataku rancau.
“balik ama siapa? Mau bareng, nggak?” ajak Yardan.
“balik sndiri, Dan. Nggak usah deh, Dan. Nggak enak. Takutnya aku ngerepotin kamu.”
“ngerepotin? Nggaklah, diza. Mau balik bareng nggak? Lagian aku liat, kamu agak pucat. Udah malam loh Diz. Nggak baik anak cewek jalan-jalan sendirian.” Kata Yardan dramatis.
“aduh, yardan. Jangan nakut-nakutin dong.”
“makanya. Pulang bareng aku aja. Atau kamu nggak mau aku antar karena takut bakalan ada yang marah yaa?”
Kata-kata Yardan nusuk banget.
“nggaklah, dan. Cuma aku nggak enak aja. Rumah kita kan nggak searah.” Kataku berspekulasi.
“nggak papa kok, diz. Gimana? Mau nggak?” desak Yardan.
“nggak usah deh, dan. Aku baik-baik aja kok.” Kataku meyakinkan.
“ya udah kalau kamu nggak mau. Tapi kamu jaga diri yaa.”
“iya, yardan. Makasih yaa. Kamu juga, hati-hati yaa.” Kataku sambil tersenyum manis.
“oke. Bye.” Pamit Yardan.
“bye.” Kataku setelah motor yardan menjauh.
Ya ampun. Hari ini kok aneh banget yaa. Ckck. Aku pulang aja ahh.

***

Treeet..treeet.
Handphone ku bergetar perlahan.
Aduh, siapa sih yang sms jam segini? Gerutuku dalam hati.
From : yardan putra aditya
Malam Diz. Lagi ngapain nih?

Hah? Yardan nge-sms? Di saat kayak gini? Balas nggak yaa?
Akupun memutuskan untuk membalas sms dari Yardan itu.

To : yardan putra aditya
Malam juga. Aku lagi nggak ngapa2in kok. Cuma lagi balas sms kamu aja, hehe. Kamu lagi ngapain emangny?
 Dan itulah awal cerita ini.

part 1


"Dizaaa!!!" teriakan Arista membuat semua orang di sepanjang koridor kelas menoleh ke arahnya.
Tapi Arista, sahabatku yang akrab dipanggil Ai itu, seperti biasa hanya mengacuhkan berbagai jenis tatapan teman-teman seperjuangannya selama 3 tahun itu.

"Husssh !! Ai, jangan teriak-teriak dong !! malu tau !!" kataku, menegur sahabat terbaikku sambil menahan malu.
"bodo' amat !! aku mau ngasih tau kamu sesuatu yang penting banget !!" ucap Ai masih setengah berteriak kepadaku yang hanya bejarak beberapa langkah darinya.
"apaan ? eh, bisa nggak teriak-teriak ?" tanyaku. bukan cuma malu, tapi kepalaku juga sakit kalau Ai teriak-teriak seperti itu terus.
"oke, oke. siapa juga yang mau teriak-teriak ngasih tau kabar yang segini pentingnya buat kamu."
"emangnya kabar apaan sih ?"
"kabar penting, Diza sayang!!" ucap Ai gemas.
"iyaaa, tapi apaan ?!" kataku nggak kalah gemas.
"kita ngobrolnya jangan di sini deh. gimana kalau kita ngobrolnya di tempat biasa ?"
"ya udah. kita berangkat sekarang. aku bawa kendaraan kok."
"okee, Diza sayang !!"
tidak berapa lama, kami tiba di tempat yang biasa kami datangi saat akan membicarakan sesuatu yang penting, atau hanya sekedar ngumpul bareng teman-teman yang lain.
tempat biasa yang kami maksud ialah sebuah cafe dengan desain interior yang sangat tertata dan menarik. cafe ini terletak di tengah-tengah danau kecil buatan. untuk menuju bagian dalam cafe, kita akan melewati sebuah jembatan kaca. sedangkan di dalam cafe, terdapat beberapa ruangan kecil yang menampung beberapa rak buku. buku-buku yang tersedia di cafe ini berbagai macam. cafe ini tidak menggunakan AC, tapi hanya menggunakan bantuan angin alami yang lebih segar.
begitu kami sampai, kami berdua langsung menuju tempat favorit kami yang terletak di bagian pojok cafe yang dapat melihat seluruh cafe namun letaknya sedikit tersembunyi. Dari tempat kami itu, kami juga bisa melihat sunrise dan sunset. Benar-benar tempat yang sangat bagus itu kami anak-anak muda zaman sekarang ini.
“okee, Ai. Apaan sih yang mau kamu sampein ke aku ?” tanya ku setelah menuliskan pesananku di kertas pesanan setelah pesanan Ai.
“hmm. Gini loh, Diz. Tapi kamu jangan marah yah ?”
“hah ? marah ? tergantung apa masalahnya lah, Arista sayang.”
“hmm. Ini menyangkut, hmm..” kalimat Ai yang menggantung yang semakin membuatku penasaran.
“aduhh, Ai sayang. Jangan bikin aku tambah penasaran dong !!” desak ku penasaran.
“hmm. Okee.” Gumam Ai seakan meyakinkan dirinya sendiri dan aku menunggu kalimat selanjutnya.
“za, kamu masih ingat ama Pramatya dan Aryanta ?” tanya Ai.
“hah ? iya, masih ingat. yang kembar itu ?”  kataku walaupun sebenarnya aku bingung dengan pertanyaan Ai itu.
“Ai kok nanya soal mereka. Perasaan aku udah nggak punya urusan dengan mereka deh.” Kata hati kecilku.
“iya, yang kembar itu. Kemarin, aku ketemu ama mereka. Mereka nyuruh aku ngasih tau ke kamu kalau bakalan ada reunian teman-teman SD kalian.” Kata Ai.
“oo. Terus masalahnya apaan sampai kita harus ke sini ?” tanyaku bingung.
Suasana di sekitar kami tiba-tiba berubah setelah aku bertanya. Ai menatapku dengan pandangan yang tak bisa aku tebak.
“Ai.. kenapa sih ? jangan bikin aku jadi tambah penasaran deh !” desakku.
“ah, enggak kok, Za.” Elaknya.
“lah, terus tatapanmu kok seperti itu ? jangan boong deh ma aku, Ai. Dosa loh ?!”
“aku nggak boong kok. Aku cuma lagi mikirin kalimat yang tepat buat aku kasih tau ke kamu, Diza..” kata Ai lirih.
“hah ? emangnya kenapa sih ? udah deh, nggak usah pake nyusun kalimat segala. Bilang aja apa yang ada di benak kamu.”
“gini, Za. Kemarin waktu aku ketemu ama mereka, ada cewek cantik di antara mereka. Za, kamu nanya dong, sapa cewek itu..” kata Ai, yang justru membuatku tambah bingung.
“oke, cewek itu siapa, Ai ?” aku menuruti saja perintah Ai. Yahh, untuk mengurangi rasa penasaranku juga sih.
“jangan kaget yah, Za ?!!” pinta Ai.
“iyaaa, janji !” kataku sembari mengangkat tangan menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah yang membentuk huruf V.
“anuu.. hmm. Cewek itu pacarnya Pramatya, Za.” Suara Ai lirih namun terdengar seperti bunyi gong yang dipukul tepat di dekat telingaku. Walaupun aku sangat terpukul, entah kenapa, wajahku tidak menunjukkan bahwa aku sangat terkejut dan terpukul. Hal itu terbukti dari pertanyaan Ai kemudian.
“Za, kamu kok nggak kaget ?” tanya Ai.
“ngapain harus kaget. Toh, dia juga bukan apa-apaku.” Jawabku, berusaha agar suaraku tidak terdengar emosi atau bergetar.
“okelah, Pram bukan apa-apa kamu. Tapi setidaknya kamu kaget, atau kamu nanya “sapa ceweknya?”. Ya kan ?” kata-kata Ai memberikan ku jalan keluar. Sejak Ai memberitahukan ku bahwa cewek itu pacarnya Pram, aku bingung harus ngomong apa lagi.
“ya ampun, Ai. Aku emang mau nanya kok. Kamu udah duluanin aku, tapinya. Well, cewek itu emangnya siapa ? kok kayak nyeremin banget buat kamu.” Aku berspekulasi.
“tapi kamu jangan kaget, ya, kalau tau cewek itu siapa ?”
“ya ampun, Ai. Tau aja belum.”
“iya, deh. Hmm, cewek itu, Andinne.” Kata Ai akhirnya setelah cukup lama terdiam.
“hah ? andinne ? model saingan Ai ? nggak mungkin !! nggak boleh !!” kataku dalam hati.
“Andinne ? saingan kamu di pemilihan model yang kemarin itu kan ?” kataku sedikit berlebihan.
Ya, Andinne memang saingan Ai di pemilihan model yang diadakan sekitar 2 bulan yang lalu oleh salah satu majalah indie. Walaupun Andinne dan Ai sama-sama model yang sangat baik, tetap saja ada yang lebih baik untuk jadi juara. Dan dengan segala doa, usaha, perjuangan, dan dukungan, akhirnya Ai terpilih menjadi 1st model pada kompetisi itu. Dan Andinne terlihat bisa menertima hal tersebut. Andinne bahkan ikut memberikanku selamat saat aku sedang menemui Ai di ruang make-up.
“iya, Andinne yang itu. Andinne Prisella. Kamu masih ingat, ya, Za ?” kata-kata ai menyadarkanku dari lamunan sejenak sewaktu acara kompetisi tersebut berakhir.
“iya lah, aku masih ingat. Mana bisa aku lupa sama orang yang jadi saingan sahabat aku di kompetisi modelling itu.” Jawabku berusaha merubah arah pembicaraan..
“hahahah. Tapi jujur loh, Za. Aku nggak nyangka kalau Andinne itu pacarnya si Pram. Oo iya, soal mereka. Aku mau nanya sesuatu sama kamu.”
Aduhh, Ai pasti bakalan nanya soal itu dehh. Aku mesti ngomong apaan nih ?!!
“mau nanya apaan, Arista Nathaniela, sahabatku sayang ?” tanya ku melebihkan.
“hmm...” kata-kata Ai terpotong karena pesanan kami sudah datang.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang sudah mengantarkan pesanan kami dan si pelayan udah pergi, kami melanjutkan pembicaraan kami.
“lanjutin, Yi.” Pintaku.
“hmm, kamu nggak cemburu kalau Pram udah punya pacar ? Andinne lagi. Bukannya mau ngeremehin kamu. Tapi, ini Andinne loh ?!!”
“Ai, kalau kamu tau, aku sakit banget dengernya. Tapi aku bisa apaan ? nggak ada. Pram bahkan mungkin udah lupa ama aku.” Kata-kata ini hanya bisa kusimpan dalam hati. Aku nggak mau Ai tau kalau aku masih menyimpan perasaan pada Pram. “ingat, Za. Kamu udah punya kak Ega. Jangan mikir macam-macam lagi. Jangan nambah beban pikirannya kak Ega.” Hati kecilku terus berontak. “Ikhlasin Pram, Za. Pram hanya kisah manis masa kecilmu saja. Sekarang kamu udah punya orang yang jelas-jelas sayang sama kamu ! berhenti mengharapkan hal yang udah nggak mungkin banget.” Hatiku rasanya tambah sakit.
“Za ?” panggilan Ai mengagetkanku. Aku terbangun dari pertengkaran hati nurani ku ini.
“iya, kenapa Ai ?” suaraku terdengar sedikit bergetar.
“kamu belum jawab pertanyaan aku. Kamu nggak cemburu ?” ulang Ai.
“ya ampun, Ai. Ngapain coba aku mesti cemburu ? aku udah punya kak Ega. Aku sayang kak Ega. Dan aku tau banget, kak Ega sayang banget ama aku. Aku nggak perlu nguji perasaan kak Ega dengan bilang “aku masih sayang sama Pram.” Hallo, Pram Cuma masa lalu ku.” Ucapanku rasanya sangat ngawur. Dan Ai pun merasa demikian.
“Za, aku percaya kalo kamu dan kak Ega saling menyayangi. Aku cuman nanya, kamu nggak cemburu ?”
“iyaa, Ai. Aku nggak cemburu. Itu urusan dia mau pacaran ama siapa.” Kataku meyakinkan Ai.
“oke, aku percaya. Tapi, kalau aku jadi kamu, jujur, aku bakalan cemburu berat. Aku tau kamu masih nyimpan sedikit rasa sayang buat Pram. Ya, walau bagaimanapun, rasa sayang ke kak Ega pasti jauh lebih gede.”
“hahaha. Iya. Mungkin kalau kamu ngasih tau aku sebelum kak Ega benar-benar nunjukin kalau dia sayang ama aku, mungkin aja aku bakalan cemburu. Tapi, setelah kejadian kak Ega nunjukin kalau dia benar-benar sayang sama aku, rasanya, aku nggak mau ngecewain kak Ega. Aku nggak mau bikin kak Ega sedih, banyak pikiran. Aku bakalan sakit kalau liat kak Ega diaammm aja. Untuk itu aku ada buat kak Ega.” Kataku diplomatis.
Jujur, aku memang sangat sayang sama kak Ega. Cinta mungkin. Tapi, bagaimanapun, Pram itu cinta pertama ku. Pram kisah cinta pertamaku. Tapi, aku udah janji sama diri aku sendiri, sampai saat ini, selama kak Ega menyayangi dan mencintai aku, aku akan balas mencintai dan menyayanginya, bahkan lebih. Aku sangat mengerti kondisi kak Ega. Hal itu yang bikin aku nggak tega dan nggak kuat buat kak Ega sakit. Udah cukup sakit hatinya selama ini.
“hahahha, iya ya. Aku bego banget nanya kayak gitu ma kamu. Kamu kan nggak akan ngecewain orang yang sayang kamu dan kamu sayang hanya karena masalah masa lalu. Aku udah tau, masih aja ngeraguin kamu.” Ujar Ai.
“hahhaha. Nggak papalah, Ai. Wajarlah kalau kamu nanya. Secara, Pram pernah bikin aku nggak bisa tidur. Tapi sekarang, kak Ega yang gantian bikin aku nggak bisa tidur.” Ucapku.
“aku seneng kamu udah bisa ngelupain Pram, sebagai kisah cinta pertama kamu, dan mulai menjalani kisah cinta baru sama kak Ega. Aku harap, kamu ama kak Ega tetep awet.” Kata Ai.
“aminnn. Makasih yah, Ai. Eh, waktu kamu ketemu ama Pram dan Arya, mereka bilang nggak, reuniannya di mana dan kapan ?” sebisa mungkin aku mengalihkan pembicaraan.
“ya ampunn ! aku lupa nanya. Aku terlalu terpaku dengan si Andinne. Gini deh, coba kamu hubungi salah satunya. Atau aku nanyain lewat Andinne aja kali yahh ?” perkataan polos Ai bikin aku bingung mau ngomong apa.
“hah ? udalah, nggak usah repot-repot. Nanti aku coba nanya sendiri. Tapi aku nggak punya nomor handphone mereka. Kamu bisa bantu aku nggak ? mintain nomor mereka di Andinne. Yahh ? tolong yah ?” bujuk ku pada Ai.
“iyaa, Diza. Apa sih yang enggak buat sahabat baik aku.” Kata Ai mendramatisir.
“hahhahaha. Kamu bisa aja. Bay the way, thanks yah, Ai.” Ucapku tulus.
“iya, Za. Sama-sama.” Balas Ai.
“eh, yuk balik. Udah jam brapa nih ?!!” ajak Ai.
Aku melihat arloji ku. Astagaaa !! udah jam setengah 5 sore ? aku belum siap-siap. Entar malam aku mau jalan bareng kak Ega. Aduhh !! kok aku nyadarnya telat sihh !!
“ya udah. Ayok kita balik sekarang. Entar malam aku mau jalan ama kak Ega.” Kataku sambil tersenyum. Ai pun ikut tersenyum.
Setelah membayar pesanan kami, aku langsung ngantar Ai pulang. Setelah itu, aku langsung tancap gas menuju rumahku. Begitu aku nyampe di rumah, mamah lagi nyiram taneman. Aku langsung meluk mamah dari belakang.
“eh, anak mamah udah pulang. Dari mana, sayang ?” tanya mamah.
“tadi Cha abis jalan bareng Ai, mah. Hehe. Mah, entar malam Cha mau jalan bareng kak Ega. Boleh kan ?” tanya ku pada mamah.
“oo. Kalau mamah sih ngizinin kamu, sayang. Tapi, coba kamu tanya papah.” Kata mamah.
“loh ? papah udah pulang kantor yah ?”
“hayoo, lagi ngebicarain papah yah ?” papah tiba-tiba muncul dari dalam rumah. Aku segera menghampiri papah.
“pah, entar malam kak Ega ngajak aku jalan. Cha boleh pergi nggak ?” tanya ku perlahan.
“sayang, kamu boleh pergi kok. Tapi ingat waktu dan jaga diri yah.” Kata papah.
Aku kaget saat papah bilang papah ngebolehin aku pergi ama cowok selain papah dan kak Niel. Baru kali ini. Aku langsung meluk papah.
“makasih yah, pah.” Kataku tulus.
“iya sayang. Tapi kamu harus janji kalau kamu bakalan jaga diri kamu dan nggak macam-macam.” Ancam papah.
“iya, pah.” Aku tau, papah serius dengan kata-katanya. Tapi aku juga tau, papah percaya sama kak Ega. Sama seperti aku percaya sama kak Ega.
***